<body><!-- --><div id="b-navbar"><a href="http://www.blogger.com/" id="b-logo" title="Go to Blogger.com"><img src="http://www.blogger.com/img/navbar/2/logobar.gif" alt="Blogger" width="80" height="24" /></a><form id="b-search" action="http://www.google.com/search"><div id="b-more"><a href="http://www.blogger.com/" id="b-getorpost"><img src="http://www.blogger.com/img/navbar/2/btn_getblog.gif" alt="Get your own blog" width="112" height="15" /></a><a href="http://www.blogger.com/redirect/next_blog.pyra?navBar=true" id="b-next"><img src="http://www.blogger.com/img/navbar/2/btn_nextblog.gif" alt="Next blog" width="72" height="15" /></a></div><div id="b-this"><input type="text" id="b-query" name="q" /><input type="hidden" name="ie" value="windows-1252" /><input type="hidden" name="sitesearch" value="members.tripod.comivosetyadi" /><input type="image" src="http://www.blogger.com/img/navbar/2/btn_search.gif" alt="Search" value="Search" id="b-searchbtn" title="Search this blog with Google" /><a href="javascript:BlogThis();" id="b-blogthis">BlogThis!</a></div></form></div><script type="text/javascript"><!-- function BlogThis() {Q='';x=document;y=window;if(x.selection) {Q=x.selection.createRange().text;} else if (y.getSelection) { Q=y.getSelection();} else if (x.getSelection) { Q=x.getSelection();}popw = y.open('http://www.blogger.com/blog_this.pyra?t=' + escape(Q) + '&u=' + escape(location.href) + '&n=' + escape(document.title),'bloggerForm','scrollbars=no,width=475,height=300,top=175,left=75,status=yes,resizable=yes');void(0);} --></script><div id="space-for-ie"></div>

[ ivo setyadi ]

fractions of my memory

Latihan Evakuasi! Lagi!

Thursday, May 26, 2005


Siang ini jam 11, Gedung Bapindo ada latihan evakuasi. Lagi! Apa nggak bosen sih yak!

Susahnya, kantor gue kan berurusan dengan Bursa Efek. Masak kalo pas tiap ada pengumuman evakuasi maka kita kudu tiap kali suspend perdagangan? Gila aja.

I think we are entitled to know whether it is a real emergency or not, so that we can decide strategically what to do with our business. If the evacuation drill happens too often, i think it is becoming a nuisance to the business!

Berburu Pembajak Software

Friday, May 06, 2005


Iming-Iming Rp 50 Juta, BSA Banjir Laporan
Achmad Rouzni Noor II - detikInet

Jakarta - Puluhan juta akan dihadiahkan bagi pelapor pemakai software bajakan. Trik ini sukses diterapkan Business Software Alliance (BSA) dalam memerangi software ilegal. Setidaknya, satu bulan setelah program ini diumumkan, 130 Perusahaan di Indonesia ketahuan masih memakai software ilegal.

Hotline anti pembajakan software bebas pulsa, disediakan BSA sebagai bagian dari usahanya berburu pelanggar lisensi software di Indonesia. Program ini menjanjikan hadiah maksimal Rp 50 juta, bagi mereka yang melaporkan pemakain software bajakan oleh perusahaan.

Seperti disebut dalam siaran pers BSA, sejak nomor hotline diluncurkan, mereka telah menerima 200 penelepon yang menanyakan tentang lisensi atau memberikan informasi pembajakan. Diantara 200 penelepon tersebut, 130 diantaranya adalah laporan mengenai perusahaan pengguna software bajakan, baik yang dilaporkan melalui hotline, website dan e-mail.

Tingginya partisipasi masyarakat dalam merespon ajakan BSA ini, bisa dikatakan merupakan indikasi tumbuhnya kesadaran masyarakat akan masalah pembajakan software di Indonesia, dan merupakan satu langkah maju dalam perjuangan melawan pembajakan software. Atau mungkin juga karena iming-iming hadiah (nks)

sumber: detikcom

Petugas DLLAJ Tidak Berhak Tilang 3in1

Tuesday, April 05, 2005
Polda: PPNS Dishubdar Tak Berhak Menilang Pelanggar 3 in 1
Reporter: Muhammad Atqa

detikcom - Jakarta, Direktur Lalu Lintas Polda Metro Jaya Kombes Pol Djoko Susilo menegaskan hanya polisi yang berhak menindak pelanggar kawasan pembatasan penumpang (KPP) atau biasa disebut three in one. Penyidik pegawai negeri sipil (PPNS) Dinas Perhubungan Darat DKI tidak berhak menilang pelanggar three in one.

Hal ini disampaikan Kombes Pol Djoko Susilo menanggapi pernyataan Wakil Kepala Dishub DKI Nurachman bahwa PPNS Dishub berhak menindak pelanggar three in one. Tindakan itu berupa pembuatan berita acara pelanggaran yang kemudian dilimpahkan ke kepolisian.

"PPNS Dinas Perhubungan Darat selama ini bertindak berdasarkan Perda No.12 Tahun 2003 tapi di sana tidak dijelaskan masalah ancaman hukuman atau penegakkan hukum bagi pelanggar three in one. Bahkan three in one tidak sama sekali disebut dalam perda tersebut," ujar Djoko.

Dijelaskan Djoko, tindakan terhadap pelanggar three in atau 3 in 1 diatur dalam pasal 61 UU No.14/1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Dalam pasal tersebut diatur hanya polisi yang berhak menindak pelanggar three in one.

"Three in one disebut dalam UU No.14/1992. Hanya polisi yang memiliki kewenangan menegakkan UU itu. Polisi melakukan penindakan terhadap pelanggar three in one berdasarkan pasal tersebut," jelasnya.

PPNS Dishub DKI hanya berhak melaksanakan tugas membantu polisi seperti uji kelaikan jalan, emisi gas buang, atau kir kendaraan. "Jadi PPNS tidak berhak menilang pelanggar three in one. Jika ada PPNS melakukan penilangan maka informasikan kepada kepolisian," demikian Kombes Pol Djoko Susilo.(gtp)

source




Hanya Polisi yang Berhak Tindak Pelanggar 3 in 1
Reporter: Hendi Suhendratio

detikcom - Jakarta, Anda pernah ditilang oleh petugas DLLAJR dari Dinas Perhubungan (Dishub) karena melanggar 3 in 1 di Jakarta? Jangan mau! Soalnya yang berhak menilang cuma polisi.

Demikian penegasan anggota DPRD DKI Jakarta dari Komisi B Ir Arkeno, Wakil Direktur Lalu Lintas Polda Kombes Pinem, dan Wakil Kepala Dinas Perhubungan Darat Nurachman, dalam diskusi bertajuk "3 in dan Permasalahannya" di Restoran Romeo Automall, kawasan bisnis SCBD, Jakarta, Jumat (1/4/2005).

Arkeno menegaskan, berdasarkan UU No 14/1992 dijelaskan bahwa yang melakukan penertiban dan pengawasan lalu lintas adalah jajaran Dishub. Namun yang menindak tetap saja polisi lalu lintas.

Dia juga mengutip Perda No 12/2003 yang mengatur 3 in 1. "Tidak ada keterangan bahwa yang menindak adanya pelanggaran adalah Dishub," tegas Arkeno. Petugas Dishub hanya bertugas melakukan penertiban dan pengawasan.

Kombes Pinem menambahkan, petugas Dishub harus melakukan tugasnya, tetapi harus sesuai peraturan. Koordinasi harus tetap dilakukan antara polisi dan petugas Dishub untuk membantu memantau dan mengawasi pelanggaran.

"Polisi tdiak bisa bekerja sendirian, polisi harus dibantu. Polisi
menindak dan aparat Dishub membantu memantau melakukan pengawasan," kata Pinem.

Bagaimana dengan kenyataan di lapangan bahwa aparat Dishub dan Polantas terkesan rebutan lahan dengan menilang pelanggar? "Saya kira tidak ada. Saya kira itu hanya bentuk kerja sama," tukas Nurachman. Nurachman menegaskan bahwa bila ada pelanggar yang disetop petugas Dishub, petugas itu hanya berhak memberikan bukti pelanggaran yang kemudian diserahkan ke polisi.

"Kalau rebutan, biarlah kita rebutan untuk menertibkan. Namun untuk melakukan penindakan adalah tugas polisi," imbuh Kombes Pinem.

Ssperti diketahui, kebijakan 3 in 1 berlaku untuk jalan protokol dari Blok M hingga Kota sejauh 13-an km. Pembatasan penumpang mobil pribadi itu berlaku pukul 07.00-10.00 dan 16.30 - 19.00 WIB hari Senin - Jumat. Setiap hari puluhan petugas Dishub mengawasi jalanan bersama polisi dan menghentikan kendaraan yang diduga melanggar.(nrl)

source

Audit Lisensi 3G: 'Makelar Lisensi Harus Ditindak Tegas'

Thursday, March 24, 2005
Reporter: Ni Ketut Susrini



detikcom - Jakarta, Audit terhadap proses pemberian lisensi frekuensi generasi ketiga (3G) yang akan dilakukan Kementerian Komunikasi dan Informatika, perlu didukung. Pemerintah juga dinilai harus menindak tegas para 'makelar' lisensi.

Hal tersebut disampaikan oleh pengamat telematika, Heru Sutadi. Dia menilai pemerintah telah mengambil langkah positif dengan melakukan audit terhadap proses pemberian spektrum frekuensi layanan seluler 3G ini.

"Langkah positif ini perlu mendapat dukungan agar tidak terjadi preseden buruk jual-beli lisensi di masa depan," katanya kepada detikcom, Rabu (23/3/2005).

Beberapa waktu lalu, Menteri Kominfo, Sofyan A. Djalil menegaskan akan membentuk tim untuk melakukan audit terhadap proses pemberian lisensi frekuensi 3G kepada Lippo Telecom dan Cyber Access Communication (CAC). Pemerintah menyatakan akan membatalkan pemberian izin tersebut jika dinilai melanggar hukum.

Pelaksanaan audit dinilai penting menyusul penjualan 51 persen saham Natrindo Telepon Seluler (NTS-pemilik Lippo Telecom) ke perusahaan telekomunikasi asal Malaysia, Maxis Communications Berhad. Demikian halnya CAC yang telah menjual 60 persen sahamnya ke Hutchinson Telecommunications Intenational Ltd., operator asal Amerika Serikat.

Heru menilai tindakan NTS dan CAC layaknya seperti 'makelar' lisensi. "Begitu mereka mendapat lisensi, yang otomatis membuat posisi tawar perusahaan meningkat, sebagian saham lalu dijual ke pihak lain," katanya. "NTS bisa menangguk uang senilai US$ 100 juta, CAC juga dengan mudah meraup US$ 120 juta. Padahal, jika saja lisensi itu 'dijual' pemerintah, maka uang ratusan juta dolar tidak akan jatuh ke tangan para 'makelar' lisensi itu," imbuhnya.

Seperti diketahui, izin frekuensi 3G telah diberikan kepada kedua perusahaan tersebut, dengan harapan akan menjadi penyedia layanan 3G di Indonesia. Layanan 3G mampu melakukan transmisi data dengan kecepatan mencapai 144 kilobits per detik, antar perangkat nirkabel.

Banyak kalangan menyesalkan tindakan pemerintah yang dinilai gegabah dalam memberi izin frekuensi, mengingat frekuensi adalah sumber daya terbatas yang harus dialokasikan dengan sebaik-baiknya. Polemik seputar pemberian izin frekuensi ini juga diperkeruh dengan kenyataan bahwa pemerintah memberikannya kepada perusahaan non-opeartor. Sementara banyak kalangan menilai, akan lebih efisien jika pengembangan teknologi 3G diserahkan kepada operator telekomunikasi yang sudah ada. Karena investasi yang dibutuhkan untuk itu, tidak akan sebesar investasi yang dikeluarkan untuk operator baru.

Hal yang sama juga disampaikan Ketua Asosiasi Perusahaan Nasional Telekomunikasi (Apnatel), Rahardjo Tjakraningrat.

"Izin frekuensi bisa diperoleh dengan mudah di Indonesia. Tidak seperti di luar negeri, dimana operator harus membayar US$ 10 juta sampai US$ 20 juta per mebahertz (MHz)," katanya beberapa waktu lalu. "Ini bentuk sikap pemerintah yang tidak hati-hati dalam memanfaatkan frekuensi. Padahal 'pabrik frekuensinya' sudah tutup. Alias, frekuensi yang ada di dunia ini tidak mungkin ditambah lagi. Jumlahnya terbatas, sehingga harus dimanfaatkan dengan baik," paparnya setengah berseloroh.

Harus Ditindak Tegas

Seperti dilansir Kompas (21/3/2005), Sofyan A. Djalil mengaku, pemerintah sekarang bingung dengan kebijakan masa lalu, dimana operator tidak diberi izin 3G, tetapi izin malah diberikan kepada non-operator. Akibatnya, operator seperti Telkom dan Indosat bisa mati karena tidak mempunyai alokasi. Dan kalau diberikan izin tinggal sedikit.

Keanehan juga muncul, mengingat pemerintah memberi izin frekuensi 3G secara sekaligus yaitu sebanyak 30 MHz. Padahal seharusnya pemberiannya dilakukan sedikit demi sedikit, mungkin 5 MHz dulu, baru kemudian ditambah kalau sudah memakai fasilitas tersebut.

Dalam pernyataannya kepada detikcom, Heru menilai, pemerintah harus tegas menindak 'makelar-makelar' lisensi tersebut. Karena dalam kasus penjualan saham NTS dan CAC, hal itu jelas-jelas merugikan negara.

"Bahkan jika perlu, lisensi yang sudah diberikan, dicabut saja untuk kemudian diberikan kepada yang lebih mampu secara finansial dan dapat memberi kontribusi kepada negara secara langsung," kata Heru.

Dijelakannya, audit seharusnya tidak hanya dilakukan terhadap pemegang lisensi, tapi juga terhadap pemerintah dan regulator yang telah memberi restu penjualan saham-saham pemegang lisensi 3G.

"Disinyalir pemerintah, dalam hal ini oknum Direktorat Jenderal Pos dan Telekomunikasi serta Badan Regulasi dan Telekomunikasi Indonesia, terlibat atau setidaknya memberi restu pengalihan saham NTS dan CAC," kata Heru. "Ini mengherankan, apalagi ketika CAC ditetapkan sebagai pemenang tender pertama lisensi 3G telah diwanti-wanti oleh Dirjen Postel untuk tidak memperjualbelikan sahamnya," tandasnya.

(nks)

sumber: detik

today's jokes

Tuesday, March 15, 2005


EGGAK TEGA
Cowok : "Gua suka nggak tega ngeliat ada cewek berdiri kalau lagi naik bus, apalagi pas gua dapet duduk..."
Cewek (kagum): "Terus, apa yang Mas lakukan?"
Cowok: "Gua langsung pura-pura tidur..."

ORANG BODOH MINUM KOPI
Pasien : "Dok... setiap saya minum kopi dari cangkir, rasanya mata Kanan saya seperti ada yang menusuk gitu dok.."
Dokter : "Kalo begitu, setiap mau minum kopi keluarkan dulu sendoknya Dari dalam cangkir.. "
Pasien : "O... Terima kasih, Dok.."

DOKTER DAN PASIEN
Ini merupakan percakapan antara dokter dengan seorang pasien yg terkena muntaber.
Dokter : Sakit apa ?....
Pasien : Anu dok......., mual-mual dan muntah-muntah...
Dokter : Buang air besarnya bagaimana...
Pasien : Seperti biasa Dok, jongkok...

GEMBALA KAMBING
Suatu hari, Fulan berpapasan dengan seorang gembala dengan kambingnya Fulan bertanya dengan takjub "Pak, boleh nanya nih?"
Gembala: "Boleh"
Fulan : "Kambing-kambing bapak sehat sekali, bapak kasih makan apa?"
Gembala : "yang mana dulu nih? yang hitam atau yang putih?"
Fulan : "mmmm ...Yang hitam dulu deh...."
Gembala : "oh, kalo yang hitam, dia makannya rumput basah"
Fulan : "ohh...kalo yang putih?"
Gembala : "yang putih juga..."
Fulan : "hmmm...kambing-kambing ini, kuat jalan berapa kilo pak?"
Gembala : "yang mana dulu nih? yang hitam atau yang putih?"
Fulan : "mmmm Yang hitam dulu deh...."
Gembala : "oh, kal o yang hitam, 4 km sehari"
Fulan : "kalo yang putih?"
Gembala : "yang putih juga..."
Si Fulan mulai gondok.... Fulan : "kambing ini, menghasilkan banyak bulu ngga pak, pertahunnya?"
Gembala : "yang mana dulu nih? yang hitam atau yang putih?"
Fulan : "(dengan kesalnya) yang hitam dulu deh..."
Gembala : "oh, yang hitam, banyak...10 kg/th"
Fulan : "kalo yang putih...?"
Gembala : "yang putih juga"
Fulan : "BAPAK KENAPA SIH SELALU NGEBEDAIN KAMBING DUA INI, KALO JAWABANNYA SAMA??????"
Gembala : "oh, gini dik, soalnya yang hitam itu, punya saya...."
Fulan : "Oh gitu pak, maaf kalo begitu, saya emosi...kalo yang putih?"
Gembala : "yang putih juga"

Flickr

Wednesday, March 09, 2005
This is a test post from flickr, a fancy photo sharing thing.

Apple's position solidified by launching new iPod

Thursday, February 24, 2005
www.chinaview.cn 2005-02-24 08:41:58
BEIJING, Feb. 24 (Xinhuanet)



Apple Computer Inc. unveiled its new generation of mini iPods on Wednesday, cutting the price of the current "iPod mini" model.

Apple Computer Inc. released new versions of its popular iPod digital music player Wednesday, cutting prices and expanding memory capacities.

The new four-gigabyte mini iPod is priced at 199 dollars while the six-gigabyte player, with 50 percent more storage, comes with a 249 dollar price-tag.

The battery life of the second-generation mini models has also been improved. The playback time on a single charge is now 18 hours, up from 8 hours of previous models.

"We've done very well, but we're not resting on our laurels," Joswiak said. "And we're going to continue to be very aggressive in this market."

"We believe some will view the changes in the iPod product line as negative," said Piper Jaffray. "Specifically, we expect to hear arguments that Apple is taking a hit to margins in reaction to competitive threats. We believe that Apple's changes to the product line are more offensive than defensive. Apple clearly holds the leadership position on this market and we believe these changes will widen the gap between Apple and potential competitors that are trying to chip away at iPod market share."

Apple shares rose $2.94, or 3.5 percent, to close at $88.23 in Wednesday trading on the Nasdaq Stock Market. Enditem

(Agencies)

Mayoritas vs. minoritas

Thursday, February 17, 2005
Jalur Kereta Api

Sekelompok anak kecil sedang bermain di dekat dua jalur kereta api.

Jalur yg pertama adalah jalur aktif (masih sering dilewati KA), sementara jalur kedua sudah tidak aktif.

Hanya seorang anak yg bermain di jalur yg tidak aktif (tidak pernah lagi dilewati KA), sementara lainnya bermain di jalur KA yg masih aktif.

Tiba-tiba terlihat ada kereta api yg mendekat dgn kecepatan tinggi, dan kebetulan Anda berada di depan panel persimpangan yg mengatur arah KA tsb.

Apakah Anda akan memindahkan arah KA tsb ke jalur sdh tidak aktif dan menyelamatkan sebagian besar anak kecil yg sedang bermain ?

Namun hal ini berarti Anda mengorbankan seorang anak yang sedang bermain di jalur KA yg tidak aktif. Atau Anda akan membiarkan kereta tsb berada di jalur yg seharusnya?

Mari berhenti sejenak dan berpikir keputusan apa yang sebaiknya kita ambil ?

Pikirkan baik-baik jawaban anda...., dan setelah anda yakin dengan jawaban anda, baru anda teruskan membaca ke bawah.

.

.

.

.

Sebagian besar orang akan memilih untuk memindahkan arah kereta dan hanya mengorbankan jiwa seorang anak. Anda mungkin memiliki pilihan yg sama karena dgn menyelamatkan sebagian besar anak dan hanya kehilangan seorang anak adalah sebuah keputusan yg rasional dan dpt disyahkan baik secara moral maupun emosional.

Namun sadarkah Anda bhw anak yg memilih untuk bermain di jalur KA yg sudah tidak aktif, berada di pihak yg benar karena telah memilih untuk bermain di tempat yg aman? Di samping itu, dia harus dikorbankan justru krn kecerobohan teman2nya yang bermain di tempat berbahaya.

Dilema semacam ini terjadi di sekitar kita setiap hari. Di kantor, di masyarakat, di dunia politik dan terutama dalam kehidupan demokrasi,pihak minoritas harus dikorbankan demi kepentingan mayoritas. Tidak peduli betapa bodoh dan cerobohnya pihak mayoritas tersebut.

Nyawa seorang anak yang memilih untuk tidak bermain bersama teman-temannya di jalur KA yang berbahaya telah dikesampingkan. Dan bahkan mungkin kita tidak akan menyesalkan kejadian tersebut.

Seorang teman yg men-forward cerita ini berpendapat bahwa dia tidak akan mengubah arah laju kereta karena dia percaya anak-anak yang bermain di jalur KA yang masih aktif sangat sadar bahwa jalur tersebut masih aktif.

Akibatnya mereka akan segera lari ketika mendengar suara kereta mendekat. Jika arah laju kereta diubah ke jalur yg tidak aktif maka seorang anak yg sedang bermain di jalur tsb pasti akan tewas, krn dia tidak pernah berpikir bhw kereta akan menuju jalur tsb.

Disamping itu,alasan sebuah jalur KA dinonaktifkan kemungkinan karena jalur tersebut sudah tidak aman. Bila arah laju kereta diubah ke jalur yang tidak aktif, maka kita telah membahayakan nyawa seluruh penumpang di dalam kereta.

Dan mungkin langkah yang telah ditempuh untuk menyelamatkan sekumpulan anak dengan mengorbankan seorang anak, akan mengorbankan lagi ratusan nyawa penumpang di kereta tersebut.

Kita harus sadar bahwa hidup ini penuh dengan keputusan sulit yg hrs dibuat. Dan mungkin kita tdk akan menyadari bhw sebuah keputusan yang cepat tdk selalu menjadi keputusan yg benar.

Satu lagi yang perlu diingat.... dalam masyarakat kita sekarang ini :

Sesuatu yang benar tidak selalu disukai dan sesuatu yang disukai tidak selalu benar......

HP "dibunuh" Carly Fiorina?

Friday, February 11, 2005


End of a hatchet woman
Hewlett-Packard's ousted CEO Carly Fiorina destroyed a great company's creative soul and trashed its business.

By Lawrence M. Fisher

Feb. 10, 2005 | Carleton S. Fiorina's fall from grace was dramatic, as was most of her career. But don't cry for Carly; her way of doing business remains ascendant, and has already triumphed over that quaint set of humanistic values known as "The HP Way."

I well remember my first meeting with Carly, who from an early date seemed destined to be one of those first-name-only stars like Cher or Madonna. Months before Hewlett-Packard named her its chief executive, the company had invited me and John Markoff, my friend and colleague at the New York Times, to spend a day with the engineers at its legendary research labs. But midway through our morning in nerd nirvana, Carly paid us a "surprise" visit.

She was, of course, charming, well-coiffed and coutured, as nearly every article at the time would mention. And as I watched her perform, amid an awkward group of guys who really were wearing short-sleeved sta-press shirts with pocket protectors, I realized I was seeing the new and old faces of Silicon Valley, up close and personal.

On one side of the hall were these unassuming but enormously bright individuals who came to work each day on Page Mill Road, in Palo Alto, Calif., not to make a killing in high tech, but for the sheer joy of inventing cool things. On the other was the perfect pitch person, singing Wall Street's tune absolutely in key.

From early in her six-year reign, Carly's mendacity was breathtaking, as she methodically eviscerated HP of everything the company once stood for. Is that too harsh? Recall the "invent" campaign, launched soon after she joined, where she plastered billboards and ads with the image of Bill Hewlett and Dave Packard's sainted Palo Alto garage, even as she was slashing the company's research budget and laying off scores of real-life inventors. After all, tinkering with the outer reaches of particle physics may be cool, but it's hardly a bottom-line contributor, not this quarter anyway.

At the same time, the truly inventive side of Hewlett-Packard, as well as its historical heritage, was being spun off as a separate company, now known as Agilent. To be fair, HP's board initiated this thrilling bit of stupidity before hiring Carly, but she had plenty of time to stop it and did not.

HP's test and measurement instruments, direct descendants of the audio oscillators that launched the company in 1939, were and are considered the best that money can buy. Despite increasing global competition, these products command a premium price and maintain high profit margins because they are simply higher performing, better built and more innovative than the offerings of other companies. They are, in a word, "differentiated."

Yet Carly and the HP board chose to dump this profitable business to concentrate on commodity products like printers and PCs. Why? The answer at the time was that securities analysts accustomed to following straightforward companies such as Dell Computer really couldn't understand a complex business like test and measurement. And, to be sure, Wall Street's shills fell into lockstep, praising the divestiture as a brilliant strategic move that would, in that tired phrase, increase shareholder value.

As HP's best and brightest headed for the doors, whether they jumped or were pushed, some of them were not shy about calling a reporter who had covered the company for many years. As I talked to these talented people from every level of the company, one interpretation of events emerged with remarkable consistency. Carly had no intention of sticking around Hewlett-Packard for very long, these folks said. Her real intent was to do a quick, Lee Iacocca-style turnaround, accompanied by the best autobiography money could buy, and in 2004 run for the U.S. Senate, against Barbara Boxer.

It seemed a little far-fetched, but soon the photo-op shots of Carly in the company of high-ranking Republicans began proliferating. Even as Carly's script for HP ran into harsher realities, even as Boxer retained her seat, the story never really died. And in retrospect, it offers the only explanation that makes any sense at all of Carly's biggest strategic move. I'm referring here to the acquisition of the Compaq Computer Corp.

Prior to launching that deal, Carly had said her intention was to pattern HP after Lou Gerstner's version of IBM, which had successfully leveraged its low-margin hardware business to sell high-margin consulting services. To that end, she initially negotiated to acquire the consulting arm of PricewaterhouseCoopers, the global accounting firm. She punted at the last minute, and IBM ultimately acquired PwC's jilted consultants at a substantial discount.

Undaunted, in 2002 Carly moved to acquire Compaq, which was bleeding market share to Dell and losing money at an even faster rate than HP's PC business. Never mind that no big merger in the history of high tech had ever really worked; never mind that Compaq itself had already made two big acquisitions -- Digital Equipment Corp. and Tandem Computer -- that had failed to add any value; never mind that Dell rapidly seized on the inevitable uncertainty to take even more customers away from both HP and Compaq. Even the pointed opposition of founder's son Walter Hewlett didn't dissuade Carly and the HP board from this historic blunder.

At the time, I was on staff at a consulting firm that was retained by one of the family foundations to analyze the merger. In the process, we spoke with a number of people close to both companies and their remarks were stunning. "The collision of two garbage trucks," was how one put it. "Doubling down on a dog," was another take. Without naming the firm, or their specific recommendations, it was obvious to anyone who cared to look that Carly's projections could only materialize if IBM, Dell and Sun Microsystems took a collective nap for the next five years, and every single one of her rosiest scenarios came true at once. Any resemblance to the Bush budget is entirely coincidental, I'm sure.

So why did she do it? For one reason: Wall Street loves big mergers. The investment banks collect immense fees for their roles as advisors, regardless of the ultimate soundness of the deal. And their securities analysts all write positive reports, which prompt a lot of rubes to buy shares, which generates a flood of trading commissions. Big mergers and acquisitions are almost always a net negative for the companies and communities involved, but a win-win for the bankers, lawyers and other deal makers.

A second reason is that it should have worked well enough for Carly to declare victory and move on to the political stage. Despite their dismal long-term success record, big mergers usually can "achieve synergies," Wall Street-speak for massive layoffs, which reduce costs enough to show a big if fleeting bump in earnings per share.

There was a brief period where the credulous might have believed that this merger was working, thanks entirely to such redundancies eliminated and other corporate bloodletting. But it didn't last, as Carol Loomis' masterful article in last week's Fortune magazine made all too clear. Loomis did the tough analytical work that the board should have done, published it for all to see, and in the end, HP's recalcitrant directors had to act.

To those who will inevitably say that Carly has been singled out for harsh treatment because she is a woman, nonsense. Anne Mulcahy of Xerox, Meg Whitman of eBay and Carol Bartz of Autodesk, among others, have all shown that a Y chromosome is no prerequisite to performing the CEO's role with quiet competetence. What these leaders share besides their gender is they don't make promises they can't possibly keep.

As the Fortune article makes clear, Carly's numbers didn't work because they couldn't work, which is of course what folks like Walter Hewlett were saying three years ago. And so a once great company is a shadow of its former self, and Fiorina is out of a job. But don't cry for Carly. Given her way with numbers, there's surely a spot for her in the Bush administration. Secretary of the treasury, perhaps.

salon.com

Kolom Telematika: Tragedi Telkom Speedy

Monday, February 07, 2005
Kontributor: M. Salahuddien

detikcom - Jakarta, Akhir 2004, Internet Indonesia mendapat kado pahit berupa kekacauan billing layanan ADSL Speedy, salah satu layanan ISP terbesar di Indonesia, Divisi Multimedia PT Telkom Tbk. Pertengahan Januari 2005, layanan ini kembali bermasalah dan berakibat lumpuhnya layanan selama beberapa hari. Tidak ada penjelasan memadai dan pelanggan diabaikan haknya oleh Telkom.

Kualitas layanan adalah masalah mendasar ISP nasional. Divisi Multimedia PT. Telkom adalah ISP terbesar yang banyak dikeluhkan pelanggan. Telkom terkesan tidak punya rencana bisnis dan sumber daya yang layak untuk menyelenggarakan berbagai layanan Internet.

Telkom juga dikritik dalam hal perilaku bisnis, penyelenggaraan, kualitas layanan dan sumber daya manusia. Terutama terkait dua layanan utamanya, Telkomnet Instan yang sudah tersebar di 240 kota dan Telkom Speedy (ADSL) di dua kota besar, Jakarta dan Surabaya. Telkom arogan dan tidak fair pada mitra kerja maupun pelanggannya. Karena memonopoli infrastruktur domestik dari hulu ke hilir, Telkom mempersulit ISP lain mendapatkan jaringan. Telkom melakukan dumping tarif/biaya layanan serta transfer pricing tidak wajar yang menyulitkan ISP lain untuk bersaing sehat. ISP sulit mendapat E1 untuk RAS, karena Telkomnet Instan juga memakai fasilitas yang sama. Dumping dikamuflase diskon dan transfer pricing tak berlaku sama (unequal treatment) bagi ISP/operator lain. Telkomnet Instan bisa memberi diskon hingga 40% lebih sehingga tidak fair bagi ISP lain yang punya layanan sejenis.

ISP dikenakan tarif tidak menentu dan sulit memperoleh jaringan yang layak, meskipun hanya analog line yang masih banyak digunakan di luar pulau Jawa. Penolakan pada ISP tidak tercatat secara resmi, sehingga Komite Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) sulit membuktikan secara hukum terjadinya praktik persaingan bisnis tidak sehat yang melanggar UU walau indikasinya kuat.

ADSL diproyeksi menggantikan akses dial up. ADSL menuntut infrastruktur jaringan yang lebih baik dari dial up. Jaringan itu hanya dimiliki Telkom. Telkom menjajaki bisnis ini dengan minimalisasi resiko, mengajak ISP lain menggelar layanan dengan pola kerjasama. Saat layanan tersebut cukup mapan, Telkom masuk dan memproteksi dengan praktik diskriminasi yang menghambat layanan sejenis dari ISP lain.

Dengan cara itu, Telkom Speedy dalam waktu singkat menguasai pangsa pasar di beberapa kota besar. Namun, penetrasi ini tidak disertai sistem dan SDM yang memadai untuk menjamin kualitasnya. Kekacauan billing, penghentian layanan mendadak yang merugikan pelanggan adalah salah satu buktinya. Bukti lain, Telkom tidak mampu menunjukkan akuntabilitas, misalnya dengan memberi kompensasi kepada pelanggan.

Telkom Speedy terus menimbulkan kontroversi. Salah satunya isu pemaksaan alat tertentu pada pelanggan dengan harga tidak wajar. Perangkat ADSL Telkom diketahui belum mendapat sertifikasi dari Ditjen Postel sesuai ketentuan UU. Ini merugikan pelanggan, karena tidak ada jaminan kualitas layanan dan perangkat.

Promosi tidak proporsional menyangkut biaya, kualitas dan kapasitas layanan juga terjadi. ISP lain juga melakukannya, namun sebagai ISP terbesar dan pemilik jaringan, Telkom harus mempelopori edukasi pasar, bukan justru ikut melakukan penyesatan. Akibat iklan tersebut, konsumen punya persepsi salah dan harapan berlebihan, layanan ini jauh lebih baik dari dial up. Secara etis ini menurunkan preferensi layanan dial up eksisting yang masih menjadi andalan pemasukan bagi ISP lain.

Layanan ADSL umumnya adalah sharing (berbagi pakai) dengan rasio kualitas dan kapasitas tidak jauh berbeda dengan dial up, terutama untuk pelanggan personal. ADSL memungkinkan akses broadband bila kapasitas portnya hingga backbone Internasional memadai. Namun di Indonesia harga bandwidth masih mahal untuk memenuhi kualitas broadband.

Layanan ADSL baru memungkinkan reduksi biaya untuk akses domestik, bukan Internasional. Kelebihan ADSL terhadap kondisi riil di Indonesia adalah pada fitur always on (24 jam) dan penggunaan telepon pada saat bersamaan.

Akses broadband ADSL mungkin dinikmati pada layanan berbasis kuota data transfer. Pelanggan mengontrol sendiri konsumsi data sampai batas kuota. Bila lebih, ada over limit. Namun, harga satuan layanan ini pun masih mahal, namun lebih murah dibandingkan layanan sejenis yang ditawarkan oleh selular, GPRS.

Layanan ini nampak fair karena pelanggan mengendalikan sendiri penggunaan Internetnya. Namun pelanggan akan sangat bergantung pada sistem billing ISP. Karena basis perhitungan yang diakui hanyalah billing sistem ISP (dalam hal ini Telkom), sedang usage meter maupun otentikasi di sisi pelanggan tidak diakui.

Kasus inilah yang meledak akhir 2004 lalu. Kekacauan sistem billing Telkom mengakibatkan pembengkakan fantastis tagihan pelanggan. Komplikasi masalah otentikasi, pelanggan juga mendapat tagihan terhadap akses tidak sah yang sebenarnya tidak dilakukannya.

Telkom tidak boleh membebankan kesalahan kepada pelanggan. Bila terjadi akses tidak sah, sistem Telkom harus mampu mencegah. Bukan sebaliknya pelanggan membuktikan sendiri keabsahan akses. Sebaliknya ketika billing Telkom salah, catatan pemakaian (usage meter) pelanggan tidak diakui. Ini adalah sikap ambivalen dan inkonsisten.

Sistem ADSL Telkom tidak bisa dipercaya, baik oleh pelanggan maupun oleh manajemen Telkom sendiri.

Kelemahan billing Telkom, tidak punya rincian detail transaksi terpisah untuk layanan Internet. Billing Telkomnet Instan dan Speedy digabung dengan tagihan Jastel lain atau dengan tagihan telepon. Kerancuan sering terjadi, pelanggan sulit melacak komponen biaya yang tercantum sehingga khawatir ada manipulasi. komponen biaya tersembunyi.

Di tubuh Telkom sendiri juga terdapat perbedaan kepentingan antara layanan Internet terpusat Divisi Multimedia dengan layanan Divisi Regional (Divre). Divre juga punya ISP melalui kerjasama operasional dengan swasta lain. Sehingga Divisi Multimedia harus bersaing pula dengan Divre.

Skema bisnis Divisi Multimedia tidak memberikan kontribusi layak bagi Divre. Sementara sumber dayanya milik Divre. Divre kehilangan potensi bisnis dengan vendor. Implementasi layanan Divisi Multimedia lambat, tidak responsif terhadap pasar di daerah. Divre mensikapi melalui bisnis terpisah Koperasi Karyawan bekerjasama dengan swasta lain yang difasilitasi penuh.

Friksi kepentingan internal potensial merugikan konsumen di daerah. Karena mereka memperebutkan sumber daya yang sama melalui arogansi kewenangan. Konsumen sulitan memilih layanan yang lebih terjamin karena sistem di daerah menjadi tidak jelas, berpihak pada siapa, Divre atau Divisi Multimedia.

Technical support pun banyak kelemahan. Pelanggan Internet Telkom, kesulitan mengajukan keluhan. Saling lempar tanggung jawab dan minimnya product knowledge SDM Telkom. Permasalahan umumnya diselesaikan sendiri oleh pelanggan melalui vendor atau bantuan komunitas.

Asosiasi Warnet Indonesia (AWARI), sebagai salah satu kelompok pengguna Telkom Speedy terbesar akhirnya mengeluarkan statement agar anggotanya tidak menggunakan layanan Telkom Speedy. Telkom Speedy memang salah satu alternatif layanan mengimbangi ISP lain, namun diragukan kualitas dan akuntabilitasnya.

Kita berharap Telkom Speedy berbenah. Bila ini tidak dilakukan maka Ditjen Postel perlu meninjau kembali perijinan dan melakukan Uji Laik Operasi (ULO) ulang. Bila memang tidak layak, Telkom Speedy harus dibekukan agar tidak merugikan konsumen.

Penulis Kolom Telematika ini adalah anggota Presidium Asosiasi Warnet Indonesia (AWARI) dan relawan Tim Air Putih (www.airputih.or.id)

(nks)